Minggu, 28 Juli 2019

Cerita Mesum : Guru Yang Bejat Memperkosa Anak Muridnya

Namaku Arlin, tinggi 160 cm, berat 56 kg dengan lingkar pinggang 65 cm, Secara keseluruhan, sosokku terlihat kencang dan garis seksi tubuhku tampak jelas bila mengenakan pakaian yang ketat terutama pakaian senam. Aku adalah Ibu dari dua anak, berusia 42 tahun dan bekerja sebagai seorang guru disebuah SLTA di kota Semarang.

Cerita Mesum : Guru Yang Bejat Memperkosa Anak Muridnya

Kata orang bentuk tubuhku mirip salah satu artis yang tetap kencang di usia yang semakin menua. Mungkin mereka ada benarnya, tetapi aku memiliki payudara yang lebih besar sehingga terlihat lebih menggairahkan dan semua karunia itu kudapat dengan olahraga yang teratur.

Kira-kira 6 tahun yang lalu saat umurku masih 36 tahun salah seorang sahabatku menitipkan anaknya yang ingin kuliah di tempatku, karena ia teman baikku dan suamiku tidak keberatan akhirnya aku menyetujuinya.

Nama nya Sandy, kulitnya kuning langsat dengan tinggi 173 cm. Badannya kurus kekar karena Sandy seorang atlit karate di tempatnya. Oh ya, Sandy ini pernah menjadi muridku saat aku masih menjadi Guru SD.

Sandy sangat sopan dan tau diri. Dia banyak membantu pekerjaan rumah dan sering menemani atau mengantar kedua anakku jika ingin bepergian. Dalam waktu sebulan saja dia sudah menyatu dengan keluargaku, bahkan suamiku sering mengajaknya main tenis bersama.

Aku juga menjadi terbiasa dengan kehadirannya, awalnya aku sangat menjaga penampilanku bila di depannya. Aku tidak malu lagi mengenakan baju kaos ketat yang bagian dadanya agak rendah, lagi pula Sandy memperlihatkan sikap yang wajar jika aku mengenakan pakaian yang agak menonjolkan keindahan garis tubuhku.

Sekitar 4 bulan setelah kedatangannya, suamiku mendapat tugas sekolah keluar negeri selama 3 tahun. Aku sangat berat melepasnya, karena aku bingung bagaimana menyalurkan kebutuhan sex ku yang masih menggebu-gebu.

Walau usiaku sudah tidak muda lagi, tapi aku rutin melakukannya dengan suamiku, paling tidak seminggu 2 kali. Mungkin itu karena olahraga yang selalu aku jalankan, sehingga hasrat tubuhku masih seperti anak muda. Dan kini dengan kepergiannya otomatis aku harus menahan diri.

Awalnya biasa saja, tapi setelah 8 bulan kesepian yang amat sangat menyerangku. Itu membuat aku menjadi uring-uringan dan menjadi malas-malasan. Seperti minggu pagi itu, aku masih belum juga bangun walau jam telah menunjukkan angka 9.

Karena kemarin kedua anakku minta diantar bermalam di rumah nenek mereka, sehingga hari ini aku ingin tidur sepuas-puasnya. Setelah makan, aku lalu langsung kembali tidur-tiduran di kamarku. Tak lama terdengar suara pintu yang dibuka.

“Bu Arlin..?” Suara Sandy berbisik, aku diam saja. Kupejamkan mataku makin erat. Setelah beberapa saat, aku tercekat ketika merasakan sesuatu di pahaku. Kuintip melalui sudut mataku, ternyata Sandy sudah berdiri di samping ranjangku, dan matanya sedang tertuju menatap tubuhku, tangannya memegang bagian bawah gaunku, aku lupa kalau aku sedang mengenakan baju tidur yang tipis, apa lagi tidur telentang pula. Hatiku menjadi berdebar-debar tak karuan, aku terus berpura-pura tertidur.

“Bu Arlin..?” Suara Sandy terdengar lebih keras, kukira dia ingin memastikan apakah tidurku benar-benar nyenyak atau tidak. Aku memutuskan untuk pura-pura tidur. Kurasakan gaun tidurku tersingkap semua sampai keleher.

Lalu kurasakan Sandy mengelus bibirku, jantungku seperti melompat, aku mencoba tetap tenang agar pemuda itu tidak curiga. Kurasakan lagi tangan itu mengelus-elus ketiakku, karena tanganku masuk ke dalam bantal otomatis ketiakku terlihat.

Kuintip lagi, wajah pemuda itu dekat sekali dengan wajahku, tapi aku yakin ia belum tahu kalau aku pura-pura tertidur. Kuatur napas selembut mungkin lalu kurasakan tangannya menelusuri leherku, bulu kudukku meremang geli, aku mencoba bertahan, aku ingin tahu apa yang ingin dilakukannya terhadap tubuhku.

Tak lama kemuadian aku merasakan tangannya meraba buah dadaku yang masih tertutup BH berwarna hitam, mula-mula ia cuma mengelus-elus, aku tetap diam sambil menikmati elusannya, lalu aku merasakan buah dadaku mulai diremas-remas, dan aku merasakan seperti ada sesuatu yang sedang bergejolak di dalam tubuhku, aku sudah lama merindukan sentuhan laki-laki dan kekasaran seorang pria. Aku memutuskan tetap diam sampai saatnya tiba.

Sekarang tangan Sandy sedang berusaha membuka kancing BH-ku dari depan, tak lama kemudian kurasakan tangan dingin pemuda itu meremas dan memilin puting susuku. Aku ingin merintih nikmat tapi nanti malah membuatnya takut, jadi kurasakan remasannya dalam diam.

Kurasakan tangannya gemetar saat memencet puting susuku, kulirik pelan, kulihat Sandy mendekatkan wajahnya ke arah buah dadaku lalu ia menjilat-jilat puting susuku, tubuhku ingin menggeliat merasakan kenikmatan isapannya, namun aku terus bertahan. Kulirik puting susuku yang berwarna merah tua sudah mengkilat oleh air liurnya, mulutnya terus menyedot puting susuku disertai gigitan-gigitan kecil. Perasaanku campur aduk tidak karuan, nikmat sekali.

Tangan kanan Sandy mulai menelusuri selangkanganku, kurasakan jarinya meraba vaginaku yang masih tertutup CD, aku tak tahu apakah vaginaku sudah basah apa belum. Yang jelas jari-jari Sandy menekan-nekan lubang vaginaku dari luar CD, lalu kurasakan tangannya menyusup masuk ke dalam CD-ku.

Jantungku berdetak keras sekali, kurasakan kenikmatan menjalari tubuhku. Jari-jari Sandy mencoba memasuki lubang vaginaku, lalu kurasakan jarinya amblas masuk ke dalam, wah nikmat sekali. Aku harus mengakhiri Sandiwaraku, aku sudah tak tahan lagi, kubuka mataku sambil menyentakkan tubuhku.

“Sandy!! Ngapain kamu?”

Aku berusaha bangun duduk, tapi tangan Sandy menekan pundakku dengan keras. Tiba-tiba Sandy mencium mulutku dengan cepat, aku berusaha memberontak dengan mengerahkan seluruh tenagaku. Tapi Sandy makin keras menekan pundakku, malah sekarang pemuda itu menindih tubuhku, aku kesulitan bernapas ditindih tubuhnya yang kekar dan berotot. Kurasakan mulutnya kembali melumat mulutku, lidahnya masuk ke dalam mulutku, tapi aku pura-pura menolak.

“Bu.., maafkan saya. Sudah lama saya ingin merasakan ini, maafkan saya Bu…” Sandy melepaskan ciumannya lalu memandangku dengan pandangan meminta.

“Kamu kan bisa dengan teman-teman kamu yang masih muda. Ibukan sudah tua,” Ujarku lembut.

“Tapi saya sudah tergila-gila dengan Bu Arlin.. Saat SD saya sering mengintip BH yang Ibu gunakan… Saya akan memuaskan Ibu sepuas-puasnya,” jawab Sandy.

“Ah kamu… Ya sudah terserah kamu sajalah”

Aku pura-pura menghela napas panjang, padahal tubuhku sudah tidak tahan ingin dijamah olehnya. Lalu Sandy melumat bibirku dan pelan-pelan aku meladeni permainan lidahnya. Kedua tangannya meremas-remas pantatku.

Untuk membuatnya semakin membara, aku minta izin ke WC yang ada di dalam kamar tidurku. Di dalam kamar mandi, kubuka semua pakaian yang ada di tubuhku, kupandangi badanku di cermin.

Benarkah pemuda seperti Sandy terangsang melihat tubuhku ini? Perduli amat yang penting aku ingin merasakan bagaimana sich bercinta dengan remaja yang masih panas. Keluar dari kamar mandi, matanya terbeliak melihat tubuh sintalku yang tidak tertutup sehelai benangpun.

“Body Ibu bagus banget…” dia memuji sembari mengecup putting susuku yang sudah mengeras sedari tadi. Tubuhku disandarkannya di tembok depan kamar mandi. Lalu diciuminya sekujur tubuhku, mulai dari pipi, kedua telinga, leher, hingga ke dadaku.

Sepasang payudara montokku habis diremas-remas dan diciumi. Putingku setengah digigit-gigit, digelitik-gelitik dengan ujung lidah, juga dikenyot-kenyot dengan sangat bernafsu.

“Ibu hebat…,” desisnya.

“Apanya yang hebat..?” Tanyaku sambil mengacak-acak rambut Sandy yang panjang seleher.

“Badan Ibu enggak banyak berubah dibandingkan saya SD dulu” Katanya sambil terus melumat puting susuku. Nikmat sekali.

“Itu karena Ibu teratur olahraga” jawabku sembari meremas tonjolan kemaluannya. Dengan bergegas kuloloskan celana hingga celana dalamnya. Mengerti kemauanku, dia lalu duduk di pinggir ranjang dengan kedua kaki mengangkang. Dibukanya sendiri baju kaosnya, sementara aku berlutut meraih batang penisnya, sehingga kini kami sama-sama bugil.

Agak lama aku mencumbu kemaluannya, Sandy minta gantian, dia ingin mengerjai vaginaku.

“Masukin aja yuk, Ibu sudah ingin ngerasain penis kamu San!” Cegahku sambil menciumnya.

Sandy tersenyum lebar. “Sudah enggak sabar ya?” godanya.

“Kamu juga sudah enggak kuat kan sebenarnya San,” Balasku sambil mencubit perutnya yang berotot.

Sandy tersenyum lalu menarik tubuhku. Kami berpelukan, berciuman rapat sekali, berguling-guling di atas ranjang. Ternyata Sandy pintar sekali bercumbu. Birahiku naik semakin tinggi dalam waktu yang sangat singkat. Terasa vaginaku semakin berdenyut-denyut, lendirku kian membanjir, tidak sabar menanti terobosan batang kemaluan Sandy yang besar.

Berbeda dengan suamiku, Sandy nampaknya lebih sabar. Dia tidak segera memasukkan batang penisnya, melainkan terus menciumi sekujur tubuhku. Terakhir dia membalikkan tubuhku hingga menelungkup, lalu diciuminya kedua pahaku bagian belakang, naik ke bongkahan pantatku, terus naik lagi hingga ke tengkuk. Birahiku menggelegak-gelegak.

Sandy menyelipkan tangan kirinya ke bawah tubuhku, tubuh kami berimpitan dengan posisi aku membelakangi Sandy, lalu diremas-remasnya buah dadaku. Lidahnya terus menjilat-jilat tengkuk, telinga, dan sesekali pipiku. Sementara itu tangan kanannya mengusap-usap vaginaku dari belakang. Terasa jari tengahnya menyusup lembut ke dalam liang vaginaku yang basah merekah.

“Vagina Ibu bagus, tebel, pasti enak bercinta sama Ibu…,” dia berbisik persis di telingaku.

Suaranya sudah sangat parau, pertanda birahinya pun sama tingginya dengan aku. Aku tidak bisa bereaksi apapun lagi. Kubiarkan saja apapun yang dilakukan Sandy, hingga terasa tangan kanannya bergerak mengangkat sebelah pahaku.

Mataku terpejam rapat, seakan tidak dapat lagi membuka. Terasa nafas Sandy semakin memburu, sementara ujung lidahnya menggelitiki lubang telingaku. Tangan kirinya menggenggam dan meremas gemas buah dadaku, sementara yang kanan mengangkat sebelah pahaku semakin tinggi. Lalu…, terasa sebuah benda tumpul menyeruak masuk ke liang vaginaku dari arah belakang. Oh, my God, dia telah memasukkan rudalnya…!!!

Sejenak aku tidak dapat bereaksi sama sekali, melainkan hanya menggigit bibir kuat-kuat. Kunikmati inci demi inci batang kemaluan Sandy memasuki liang vaginaku. Terasa penuh, nikmat luar biasa.

“Oohh…,” sesaat kemudian aku mulai bereaksi tak karuan. Tubuhku langsung menggerinjal-gerinjal, sementara Sandy mulai memaju mundurkan roket rudalnya. Mulutku mulai merintih-rintih tak terkendali.

“Saann, penismu enaaak…!!!,” kataku setengah menjerit.

Sandy tidak menjawab, melainkan terus memaju mundurkan rudalnya. Gerakannya cepat dan kuat, bahkan cenderung kasar. Tentu saja aku semakin menjerit-jerit dibuatnya. Batang penisnya yang besar itu seperti hendak membongkar liang vaginaku sampai ke dasar.

“Oohh…, Saannn…!!!”

Sandy malah semakin bersemangat mendengar jerit dan rintihanku. Aku semakin erotis.

“Aahh, penismu…, oohh, aarrghh…, penismuu…, oohh…!!!”

Sandy terus mengenjot-genjot. Tenaganya kuat sekali, apalagi dengan batang penis yang luar biasa keras dan kaku. Walaupun kami bersetubuh dengan posisi menyamping, nampaknya Sandy sama sekali tidak kesulitan menyodokkan batang kemaluannya pada vaginaku. Orgasmeku cepat sekali terasa akan meledak.

“Ibu mau keluar! Ibu mau keluaaar!!” aku menjerit-jerit.

“Yah, yah, yah, aku juga, aku juga! Enak banget bercinta sama Ibu!” Sandy menyodok-nyodok semakin kencang.

“Sodok terus, Saann!!!… Yah, ooohhh, yahh, ugghh!!!”

“Teruuss…, arrgghh…, sshh…, ohh…, sodok terus penismuuu…!”

“Oh, ah, uuugghhh… ”

“Enaaak…, penis kamu enak, penis kamu sedap, yahhh, teruuusss…”

Pada detik-detik terakhir, tangan kananku meraih pantat Sandy, kuremas bongkahan pantatnya, sementara paha kananku mengangkat lurus tinggi-tinggi. Terasa vaginaku berdenyut-denyut kencang sekali. Aku orgasme!

Sesaat aku seperti melayang, tidak ingat apa-apa kecuali nikmat yang tidak terkatakan. Mungkin sudah beberapa bulan aku tak merasakan kenikmatan seperti ini. Sandy mengecup-ngecup pipi serta daun telingaku. Sejenak dia membiarkan aku mengatur nafas, sebelum kemudian dia memintaku menungging. Aku baru sadar bahwa ternyata dia belum mencapai orgasme.

Kuturuti permintaan Sandy. Dengan agak lunglai akibat orgasme yang luar biasa, kuatur posisi tubuhku hingga menungging. Sandy mengikuti gerakanku, batang kemaluannya yang besar dan panjang itu tetap menancap dalam vaginaku.

Lalu perlahan terasa dia mulai mengayun pinggulnya. Ternyata dia luar biasa sabar. Dia memaju mundurkan gerak pinggulnya satu-dua secara teratur, seakan-akan kami baru saja memulai permainan, padahal tentu perjalanan birahinya sudah cukup tinggi tadi.

Aku menikmati gerakan maju-mundur penis Sandy dengan diam. Kepalaku tertunduk, kuatur kembali nafasku. Tidak berapa lama, vaginaku mulai terasa enak kembali. Kuangkat kepalaku, menoleh ke belakang. Sandy segera menunduk dan dikecupnya pipiku.

“San.. Kamu hebat banget.. Ibu kira tadi kamu sudah hampir keluar,” kataku terus terang.

“Emangnya Ibu suka kalau aku cepet keluar?” jawabnya lembut di telingaku.

Aku tersenyum, kupalingkan mukaku lebih ke belakang. Sandy mengerti, diciumnya bibirku. Lalu dia menggenjot lebih cepat. Dia seperti mengetahui bahwa aku mulai keenakan lagi. Maka kugoyang-goyang pinggulku perlahan, ke kiri dan ke kanan.

Sandy melenguh. Diremasnya kedua bongkah pantatku, lalu gerakannya jadi lebih kuat dan cepat. Batang kemaluannya yang luar biasa keras menghujam-hujam vaginaku. Aku mulai mengerang-erang lagi.

“Oorrgghh…, aahh…, ennaak…, penismu enak bangeett… Ssann!!”

Sandy tidak bersuara, melainkan mengenjot-genjot semakin kuat. Tubuhku sampai terguncang-guncang. Aku menjerit-jerit. Cepat sekali, birahiku merambat naik semakin tinggi. Kurasakan Sandy pun kali ini segera akan mencapai klimaks.

Maka kuimbangi gerakannya dengan menggoyangkan pinggulku cepat-cepat. Kuputar-putar pantatku, sesekali kumaju mundurkan berlawanan dengan gerakan Sandy. Pemuda itu mulai mengerang-erang pertanda dia pun segera akan orgasme.

Tiba-tiba Sandy menyuruhku berbalik. Dicabutnya penisnya dari kemaluanku. Aku berbalik cepat. Lalu ku kangkangkan kedua kakiku dengan setengah mengangkat. Sandy langsung menyodokkan kedua dengkulnya hingga merapat pada pahaku. Kedua kakiku menekuk mengangkang. Sandy memegang kedua kakiku di bawah lutut, lalu batang penisnya yang keras menghujam mulut vaginaku yang menganga.

“Aarrgghhh…!!!” aku menjerit.

“Aku hampir keluar!” Sandy bergumam. Gerakannya langsung cepat dan kuat. Aku tidak bisa bergoyang dalam posisi seperti itu, maka aku pasrah saja, menikmati genjotan-genjotan keras batang kemaluan Sandy. Kedua tanganku mencengkeram sprei kuat-kuat.

“Terus, Sayang…, teruuusss…!”desahku.

“Ooohhh, enak sekali…, aku keenakan…, enak bercinta sama Ibu!” Erang Sandy

“Ibu juga, Ibu juga, vagina Ibu keenakaan…!” Balasku.

“Aku sudah hampir keluar, Buu…, vagina Ibu enak bangeet… ”

“Ibu juga mau keluar lagi, tahan dulu! Teruss…, yaah, aku juga mau keluarr!”

“Ah, oh, uughhh, aku enggak tahan, aku enggak tahan, aku mau keluaaar…!”

“Yaahh teruuss, sodok teruss!!! Ibu enak enak, Ibu enak, Saann…, aku mau keluar, aku mau keluar, vaginaku keenakan.

aku keenakan ‘bercinta’ sama kamu…, yaahh…, teruss…, aarrgghh…, ssshhh…, uughhh…, aarrrghh!!!”

Tubuhku mengejang sesaat sementara otot vaginaku terasa berdenyut-denyut kencang. Aku menjerit panjang, tak kuasa menahan nikmatnya orgasme. Pada saat bersamaan, Sandy menekan kuat-kuat, menghujamkan batang kemaluannya dalam-dalam di liang vaginaku.

“Oohhh…!!!” dia pun menjerit, sementara terasa kemaluannya menyembur-nyemburkan cairan mani di dalam vaginaku. Nikmatnya tak terkatakan, indah sekali mencapai orgasme dalam waktu persis bersamaan seperti itu.

Lalu tubuh kami sama-sama melunglai, tetapi kemaluan kami masih terus bertautan. Sandy memelukku mesra sekali. Sejenak kami sama-sama sibuk mengatur nafas.

“Enak banget,” bisik Sandy beberapa saat kemudian.

“Hmmm…” Aku menggeliat manja. Terasa batang kemaluan Sandy bergerak-gerak di dalam vaginaku.

“Vagina Ibu enak banget, bisa nyedot-nyedot gitu…”

“Apalagi penis kamu…, gede, keras, dalemmm…”

Sandy bergerak menciumi aku lagi. Kali ini diangkatnya tangan kananku, lalu kepalanya menyusup mencium ketiakku. Aku mengikik kegelian. Sandy menjilati keringat yang membasahi ketiakku. Geli, tapi enak. Apalagi kemudian lidahnya terus menjulur-julur menjilati buah dadaku.

Sandy lalu menetek seperti bayi. Aku mengikik lagi. Putingku dihisap, dijilat, digigit-gigit kecil. Kujambaki rambut Sandy karena kelakuannya itu membuat birahiku mulai menyentak-nyentak lagi. Sandy mengangkat wajahnya sedikit, tersenyum tipis, lalu berkata,

“Aku bisa enggak puas-puas bercinta sama Ibu… Ibu juga suka kan?”

Aku tersenyum saja, dan itu sudah cukup bagi Sandy sebagai jawaban.

Alhasil, seharian itu kami bersetubuh lagi. Setelah break sejenak di sore hari malamnya Sandy kembali meminta jatah dariku. Sedikitnya malam itu ada 3 ronde tambahan yang kami mainkan dengan entah berapa kali aku mencapai orgasme. Yang jelas, keesokan paginya tubuhku benar-benar lunglai, lemas tak bertenaga.

Hampir tidak tidur sama sekali, tapi aku tetap pergi ke sekolah. Di sekolah rasanya aku kuyu sekali. Teman-teman banyak yang mengira aku sakit, padahal aku justru sedang happy, sehabis bersetubuh sehari semalam dengan bekas muridku yang perkasa.

Sudah seminggu Sandy menjadi suami ku. Dan jujur saja aku sangat menikmati kehidupan malamku selama seminggu ini. Sandy benar-benar pemuda yang sangat perkasa, selama seminggu ini liang vaginaku selalu disiramnya dengan sperma segar. Dan entah berapa kali aku menahan jeritan karena kenikmatan luar biasa yang ia berikan.

Walaupun malam sudah puas menjilat, menghisap, dan mencium sepasang payudaraku. Sandy selalu meremasnya lagi jika ingin berangkat kuliah saat pagi hari, katanya sich buat menambah semangat. Aku tak mau melarang karena aku juga menikmati semua perbuatannya itu, walau akibatnya aku harus merapikan bajuku lagi.

Malam itu sekitar jam setengah 10-an. Setelah menidurkan anakku yang paling bungsu, aku pergi kekamar mandi untuk berganti baju. Sandy meminta aku mengenakan pakaian yang biasa aku pergunakan ke sekolah.

Setelah selesai berganti pakaian aku lantas keluar dan duduk di depan meja rias. Lalu berdandan seperti yang biasa aku lakukan jika ingin berangkat mengajar kesekolah. Tak lama kudengar suara ketukan, hatiku langsung bersorak gembira tak sabar menanti permainan apa lagi yang akan dilakukan Sandy padaku.

“Masuk.. Nggak dikunci,” panggilku dengan suara halus.

Lalu Sandy masuk dengan menggunakan T-shirt ketat dan celana putih sependek paha.

“Malam ibu… Sudah siap..?” Godanya sambil medekatiku.

“Sudah sayang…” Jawabku sambil berdiri.

Tapi Sandy menahan pundakku lalu memintaku untuk duduk kembali sambil menghadap kecermin meja rias. Lalu ia berbisik ketelingaku dengan suara yang halus.

“Bu.. Ibu mau tahu nggak dari mana biasanya saya mengintip ibu?”

“Memangnya lewat mana..?” Tanyaku sambil membalikkan setengah badan.

Dengan lembut ia menyentuh daguku dan mengarahkan wajahku kemeja rias. Lalu sambil mengecup leherku Sandy berucap.

“Dari sini bu..” Bisiknya.

Dari cermin aku melihat disela-sela kerah baju yang kukenakan agak terbuka sehingga samar-samar terlihat tali BH-ku yang berwarna hitam. Pantas jika sedang mengajar di depan kelas atau mengobrol dengan guru-guru pria disekolah, terkadang aku merasa pandangan mereka sedang menelanjangi aku. Rupanya pemandangan ini yang mereka saksikan saat itu.

Tapi toh mereka cuma bisa melihat, membayangkan dan ingin menyentuhnya pikirku. Lalu tangan kanan Sandy masuk kecelah itu dan mengelus pundakku. Sementara tangan kirinya pelan-pelan membuka kancing bajuku satu persatu. Setelah terbuka semua Sandy lalu membuka bajuku tanpa melepasnya. Lalu ia meraih kedua payudaraku yang masih tertutup BH.

“Inilah yang membuat saya selalu mengingat ibu sampai sekarang,” Bisiknya ditelingaku sambil meremas kedua susuku yang masih kencang ini. Lalu tangan Sandy menggapai daguku dan segera menempelkan bibir hangatnya padaku dengan penuh kasih dan emosinya.

Aku tidak tinggal diam dan segera menyambut sapuan lidah Sandy dan menyedot dengan keras air liur Sandy, kulilitkan lidahku menyambut lidah Sandy dengan penuh getaran birahi. Kemudian tangannya yang keras mengangkat tubuhku dan membaringkannya ditengah ranjang.

Ia lalu memandang tubuh depanku yang terbuka, dari cermin aku bisa melihat BH hitam yang transparan dengan “push up bra style”. Sehingga memberikan kesan payudaraku hampir tumpah meluap keluar lebih sepertiganya.

Untuk lebih membuat Sandy lebih panas, aku lalu mengelus-elus payudaraku yang sebelah kiri yang masih dibalut bra, sementara tangan kiriku membelai vagina yang menyembul mendesak CD-ku, karena saat itu aku mengenakan celana “mini high cut style”.

Sandy tampak terpesona melihat tingkahku, lalu ia menghampiriku dan menyambar bibirku yang lembut dan hangat dan langsung melumatnya. Sementara tangan kanan Sandy mendarat disembulan payudara sebelah kananku yang segar, dielusnya lembut, diselusupkan tangannya dalam bra yang hanya 2/3 menutupi payudaraku dan dikeluarkannya buah dadaku.

Ditekan dan dicarinya puting susuku, lalu Sandy memilinnya secara halus dan menariknya perlahan. Perlakuannya itu membuatku melepas ciuman Sandy dan mendesah, mendesis, menghempaskan kepalaku kekiri dan kekanan.

Selepas tautan dengan bibir hangatku, Sandy lalu menyapu dagu dan leherku, sehingga aku meracau menerima dera kenikmatan itu.

“Saan… Saann… Kenapa kamu yang memberikan kenikmatan ini..”

Sandy lalu menghentikan kegiatan mulutnya. Tangannya segera membuka kaitan bra yang ada di depan, dengan sekali pijitan jari telunjuk dan ibu jari sebelah kanan Sandy, Segera dua buah gunung kembarku yang masih kencang dan terawat menyembul keluar menikmati kebebasan alam yang indah.

Lalu Sandy menempelkan bibir hangatnya pada buah dadaku sebelah kanan, disapu dan dijilatnya sembulan daging segar itu. Secepat itu pula merambatlah lidahnya pada puting coklat muda keras yang segar menantang ke atas. Sandy mengulum putingku dengan buas, sesekali digigit halus dan ditariknya dengan gigi.

Aku hanya bisa mengerang dan mengeluh, sambil mengangkat badanku seraya melepaskan baju dan rok kerjaku beserta bra warna hitam yang telah dibuka Sandy dan kulemparkan kekursi rias. Dengan penuh nafsu Sandy menyedot buah dadaku yang sebelah kiri, tangan kanannya meraba dan menjalar kebawah sampai dia menyentuh CD-ku dan berhenti digundukan nikmat yang penuh menantang segar ke atas.

Lalu Sandy merabanya ke arah vertikal, dari atas kebawah. Melihat CD-ku yang sudah basah lembab, ia langsung menurunkannya, mendorong dengan kaki kiri dan langsung membuangnya sampai jatuh ke karpet.

Tangan kanan itu segera mengelus dan memberikan sentuhan rangsangan pada vaginaku, dimana bagian atasnya ditumbuhi bulu halus terawat, dibagian belahan vagina bagian bawahnya bersih dan mulus tiada berambut. Rangsangan Sandy semakin tajam dan hebat sehingga aku meracau.

“Saaan.. Sentuh ibu sayang, .. Saann buat.. Ibu terbaang.. Pleaase.”

Sandy segera membuka gundukan tebal vagina milikku lalu mulutnya segera menjulur kebawah dan lidahnya menjulur masuk untuk menyentuh lebih dalam lagi mencari kloritasku yang semakin membesar dan mengeras. Dia menekan dengan penuh nafsu dan lidahnya bergerak liar ke atas dan kebawah.

Aku menggelinjang dan teriak tak tahan menahan orgasme yang akan semakin mendesak mencuat bagaikan gunung merapi yang ingin memuntahkan lahar nya. Dengan terengah-engah kudorong pantatku naik, seraya tanganku memegang kepala Sandy dan menekannya kebawah sambil mengerang.

“Ssaann.. Aarghh..”

Aku tak kuasa menahannya lagi hingga menjerit saat menerima ledakan orgasme yang pertama, lahar pun meluap menyemprot ke atas hidung Sandy yang mancung.

“Saan.. Ibu keluaa.. aar.. Sann..” vaginaku berdenyut kencang dan mengejanglah tubuhku sambil tetap meracau.

“Saan.. Kamu jago sekali memainkan lidahmu dalam vaginaku sayang.. Cium ibu sayang.”

Sandy segera bangkit mendekap erat diatas dadaku yang dalam keadaan oleng menyambut getaran orgasme. Ia lalu mencium mulutku dengan kuatnya dan aku menyambutnya dengan tautan garang, kuserap lidah Sandy dalam rongga mulutku yang indah.

Tubuhku tergolek tak berdaya sesaat, Sandy pun mencumbuku dengan mesra sambil tangannya mengelus-elus seluruh tubuhku yang halus, seraya memberikan kecupan hangat didahi, pipi dan mataku yang terpejam dengan penuh cinta. Dibiarkannya aku menikmati sisa-sisa kenikmatan orgasme yang hebat.

Setelah merasa aku cukup beristirahat Sandy mulai menyentuh dan membelaiku lagi. Aku segera bangkit dan mendorong badan Sandy yang berada diatasku. Kudekatkan kepalaku kewajahnya lalu kucium dan kujilati pipinya, kemudian menjalar kekupingnya.

Kumasukkan lidahku ke dalam lubang telinga Sandy, sehingga ia meronta menahan gairahnya. Jilatanku makin turun kebawah sampai keputing susu kiri Sandy yang berambut, Kubelai dada Sandy yang bidang berotot sedang tangan kananku memainkan puting yang satunya lagi. Mengelinjang Sandy mendapat sentuhan yang menyengat dititik rawannya yang merambat gairahnya itu, Sandy pun mengerang dan mendesah.

Kegiatanku semakin memanas dengan menurunkan sapuan lidah sambil tanganku merambat keperut. Lalu kumainkan lubang pusar Sandy ditekan kebawah dan kesamping terus kulepaskan dan kubelai perut bawah Sandy sampai akhirnya kekemaluan Sandy membesar dan mengeras. Kuelus lembut dengan jemari lentikku batang kemaluan Sandy yang menantang ke atas, berwarna kemerahan kontras dengan kulit Sandy yang putih.

Melihat keadaan yang sudah menggairahkan tersebut aku menjadi tak sabar dan segera kutempelkan bibir hangatku kekepala rudalnya Sandy dengan penuh gelora nafsu, kusapu kepala rudalnya dengan cermat, kuhisap lubang air seninya sehingga membuat Sandy memutar kepalanya kekiri dan kekanan, mendongkak-dongkakkan kepalanya menahan kenikmatan yang sangat tiada tara, adapun tangannya menjambak kepalaku.

“Buuu.. Dera nikmat darimu tak tertahankan.. Kuingin memilikimu seutuhnya,” Sandy mengerang.

Aku tidak menjawabnya, hanya lirikan mataku sambil mengedipkannya satu mata ke arah Sandy yang sedang kelenjotan. Sukmanya sedang terbang melayang kealam raya oleh hembusan cinta birahi yang tinggi. Adapun tanganku memijit dan mengocoknya dengan ritme yang pelan dan semakin cepat, sementara lidahku menjilati seluruh permukaan kepala rudalnya tersebut. Termasuk dibagian urat yang sensitif bagian atas sambil kupijat-pijat dengan penuh nafsu birahi.

Sadar akan keadaan Sandy yang semakin mendaki puncak kenikmatan dan akupun sendiri telah terangsang. Denyutan vaginaku telah mempengaruhi deburan darah tubuhku, kulepaskan kumulan rudalnya Sandy dan segera kuposisikan tubuhku diatas tubuh Sandy menghadap kekakinya.

Kumasukkan rudalnya Sandy yang keras dan menegang ke dalam relung nikmatku. Segera kuputar dan kupompa naik turun sambil menekan dan memijat dengan otot vagina sekuat tenaga. Ritme gerakan pun kutambah sampai kecepatan maksimal.

Sandy berteriak, sementara aku pun terfokus menikmati dera kenikmatan gesekan kontol sandy yang menggesek G-spotku berulang kali sehingga menimbulkan dera kenikmatan yang tidak bisa terlukis dengan kata-kata. Tangan Sandy pun tak tinggal diam, diremasnya pantatku yang bulat montok indah, dan dielus-elusnya anusku, sambil menikmati dera goyanganku pada rudalnya. Dan akhirnya kami berdua berteriak.

“Buu Liinnaa.. Aku tak kuat lagi.. Berikan kenikmatan lebih lagi bu.. Denyutan diujung rudalku sudah tak tertahankan”

“Ibu pandai… Ibu liaarr… Ibu membuatku melayang.. Aku mau keluarr” .

Lalu Sandy memintaku untuk memutar badan menghadap pada dirinya dan dibalikkannya tubuhku. Sekarang aku berada dibawah tubuhnya bersandarkan bantal tinggi, lalu Sandy menaikkan kedua kakiku kebahunya kemudian ia bersimpuh di depan memekku.

Sambil mengayun dan memompa rudalnya dengan cepat dan kuat. Aku bisa melihat bagaimana wajah Sandy yang tak tahan lagi akan denyutan diujung rudal yang semakin mendesak seakan mau meledak.

“Buu… Pleaass.. See.. Aku akaan meleedaaakkh!”

“Tungguu Saan.. Orgasmeku juga mauu.. Datang ssayaang.. Kita sama-sama yaa..”

Akhirnya… Cret.. Cret.. Cret… tak tertahankan lagi bendungan Sandy jebol memuntahkan spermanya di vaginaku. Secara bersamaan akupun mendengus dan meneriakkan erangan kenikmatan.

Segera kusambar bibir Sandy, kukulum dengan hangat dan kusodorkan lidahku ke dalam rongga mulut Sandy. Kudekap badan Sandy yang mengejang, basah badan Sandy dengan peluh menyatu dengan peluhku.
Share:

Sabtu, 27 Juli 2019

Cerita Mesum : Nikmat Sekali Memek Perawan Calon Pengantin Baru

Aku pernah berbagi kisah dengan teman-teman pembaca semua, dan aku akan melakukan hal yang sama sekarang untuk yang kedua kalinya. Statusku yang bebas (mahasiswa perantau) membuatku tidak terbatas dalam berbagai aktifitas, walau seringkali diantaranya bermuatan negatif. Pengalaman ini terjadi pada tahun 1999 di bulan November, dimana kota Surabaya sedang diguyur hujan. 

Cerita Mesum : Nikmat Sekali Memek Perawan Calon Pengantin Baru

Merupakan pemandangan langka kalau Surabaya dicurahi hujan, karena lebih sering kota ini berada dalam kondisi kering. Kesempatan itu kumanfaatkan untuk berkeliling mengitari Surabaya karena suhunya agak bersahabat.

Aku berkeliling dengan menggunakan angkutan umum, ke tempat-tempat favorit dan belum pernah kujalani sebelumnya. Kali ini aku bersantai di Galaxy Mall, yang banyak dikunjungi WNI keturunan. Mataku liar melirik-lirik wanita putih mulus dan trendy. Entah kenapa sejak dulu aku terobsesi dengan wanita Chinese yang menurut pandanganku adalah tipikal sempurna dalam banyak hal. Di lantai paling atas, mataku tertuju kepada seorang gadis cantik dan seksi, sedang makan sendirian, tak ada teman. Dengan teknik yang biasa kulakukan, kudekati dia. Kami berkenalan sejenak dan dia menawariku ikut makan. Aku bilang aku sudah kenyang. Dia bernama Nina **** (edited). Kami seumuran atau paling tidak dia lebih tua dua tahun dariku. Setelah ngobrol agak lama, dengan mengeluarkan jurus empuk tentunya, dia mengajakku pulang bersama, karena aku mengaku akan menunggu angkutan sampai hujan reda.

Akhirnya, aku pun setuju, dan segera berangkat bersamanya. Di dalam mobil, aku tak bisa tenang karena ketika menyetir, aku bisa melihat dadanya yang montok dan paha mulusnya bergerak gesit menguasai kemudi. Tapi dia tidak menyadari itu, karena aku tahu dia tidak akan suka. Hal itu kusadari dari pembicaraan sebelumnya. Dia kelihatannya wanita baik-baik. Tapi konsentrasiku sangat terganggu apalagi jalanan di kota Surabaya yang tidak rata membuat dada indah yang bersembunyi di balik bajunya bergoyang-goyang. Ditambah lagi harum tubuhnya yang sangat merangsang. Akhirnya timbul pikiran jahat di otakku.

“Aku pindah ke belakang ya..” kataku.
“Kenapa?”
“Aku ngantuk, mau tiduran, nanti turunkan aku di jalan Kertajaya”, kataku berpura-pura.
Saat itu sejuta rencana jahat sudah merasuki otakku.
“Ok, tapi kamu jangan terlalu pulas ya.. nanti ngebanguninnya susah”, katanya polos.
Di kala otakku sudah kesetanan, tiba-tiba..
“Jangan berisik atau pisau ini akan merobek lehermu”, ancamku seraya menempelkan pisau lipat yang biasa kubawa. Itu sudah menjadi kebiasaanku sejak di Medan dulu.
“Don.. apa-apaan nihh..?” teriaknya gugup, karena terkejut.
“Aku peringatkan, diam, jangan macam-macam!” bentakku sambil menekan permukaan pisau lebih kuat.
Aku sudah kehilangan keseimbangan karena nafsu.
“Jalankan mobilnya dengan wajar, bawa ke daerah Petemon.. cepat..!”
“Ehh.. iiya.. iyahh..” jawabnya dengan sangat ketakutan.
Tas yang tadi diletakkan di jok belakang segera kubuka. Seluruh uang dan kartu kreditnya langsung berpindah ke kantongku.
“Bawa ke Pinang Inn.. cepat!” bentakku lagi.

Kali ini aku sudah pindah ke jok depan, dan pisau kutempelkan di pinggangnya. Sepanjang perjalanan wajahnya pucat dan sesekali memandangiku, seolah minta dikasihani.
“Jangan mencoba membuat gerakan macam-macam.. atau kamu kulempar ke jalan.. mengerti?” ancamku lagi sambil berganti posisi.
Aku mengambil alih kemudi. Entahlah, saat itu aku merasa bukan diriku lagi. Mungkin iblis sedang menari-nari di otakku. Dia hanya membisu, dengan tubuh gemetar menahan rasa takut. Tiba-tiba HP-nya berbunyi, kurebut HP itu dan kuhempaskan di jalan sampai pecah.
“Ingat.. jangan bertindak aneh-aneh.. kalau masih ingin hidup..” pesanku sesampainya di parkiran Pinang Inn.
Mobil langsung masuk garasi, dan aku menghubungi Front Officer. Kubayar, lalu kembali ke garasi.
“Keluar..!”

Dengan wajar kugandeng dia masuk kamar. Kukunci dan kusuruh dia telentang di kasur yang empuk. Kunyalakan TV channel yang memutar film-film biru. Pinang Inn memang disediakan untuk bermesum ria. Dia kelihatan semakin ketakutan, ketika melihatku langsung membuka baju dan celana. Dengan hanya menggunakan CD, kurebahkan tubuhku di sampingnya dengan posisi menyamping. Pisau itu kugesek-gesek di sekitar dadanya.

“Agar proses ini tidak menyakitkan, kamu jangan bertingkah.. atau besok mayatmu sudah ditemukan di laut sana.. paham?”
“Don.. ke.. ke.. napaa.. jadi be.. gii.. ni? Apa.. salahku?” dengan ketakutan dia berusaha membuatku luluh.
“Salahmu adalah.. kamu memamerkan tubuhmu di hadapan singa lapar..”
Segera, seluruh bajunya kusobek dengan pisauku yang tajam. Mulai dari bagian luar sampai dalamnya. Kini dia telanjang bulat di antara serpihan pakaian mahal yang kusayat-sayat. Dia menagis, mata sipitnya bertambah sipit karena berusaha menahan air mata yang mulai mengalir deras ditingkahi isaknya yang sesenggukan. Sejenak aku tertegun menyaksikan keindahan yang terpampang di hadapanku. Dada putih mulus yang montok, tubuh langsing, dan.. ups.. liang kemaluannya yang merah muda bersembunyi malu-malu di antara paha yang dirapatkannya. Kubuka pahanya.
“Jangann Don.. kumohon jangan..” pintanya memelas. Aku sudah tidak peduli.“Hei.. Nin.. bisa diam nggak? Mau mati? Hah..?” ancamku sambil menampar pipinya. Wajahnya sampai terlempar karena aku menamparnya cukup keras.
“Silakan menjerit.. ini ruangan kedap suara.. ayo.. menjeritlah..”, ejekku kesenangan.

Segera kulebarkan pahanya, kuelus permukaan kemaluannya dengan lembut dan berirama. Sesekali dia menatapku. Ada juga desah aneh di bibirnya yang tipis. Aku terus mengelus kemaluan itu, sambil dua jariku yang menganggur mempermainkan puting susunya bergantian. Dia hanya bisa mendesah dan menangis. Kudekatkan wajahku ke sela paha mulusnya. Dengan perasaan, kukuak liang kemaluannya, indah sekali. Seumur hidup, baru kali ini aku melihat kemaluan wanita seindah itu. Bentuknya agak membukit mungil, ditumbuhi bulu yang halus dan lemas. Bibir kemaluannya kupegang, kemudian lidahku kujulurkan memasuki lubang yang nikmat itu. Kujilati dengan perlahan, mengitari seluruh permukaannya.

“Shh.. Don.. Donhh.. jangaann.. sshh..” Nina sampai terduduk.
Ada sesuatu yang lucu. Dalam situasi itu sempat-sempatnya dia menggoyang pinggulnya mendesak mulutku, dan menjambak rambutku sesekali. Dalam hati aku tertawa, “Dasar wanita.. munafik.”
“Ayo.. Nin.. ayo..” kataku pelan mengharap cairan itu segera keluar membasahi kemaluan indahnya. Saat itu kesadaranku perlahan hadir. Perlakuanku kubuat selembut mungkin, namun tetap tegas agar Nina tidak bertindak ceroboh.
Kali ini lidahku mengait-ngait klitorisnya beraturan namun dengan arah lidah acak. Dia makin bergetar. Goyangan pinggulnya terasa sekali.

“Lho.. diperkosa kok malah enjoy.. ayo.. nangis lagi.. mana..?” olokku.
“Don.. jangannhh.. janganh..” balasnya malu-malu, berusaha menggeser kepalaku dari selangkangannya. Tapi setelah kepalaku digerakkan ke samping, malah ditariknya lagi hingga mulutku langsung terjatuh di bibir kemaluannya. Aku pun paham, dia ingin menunjukkan ketidaksudiannya, namun di lain pihak, dia sangat menginginkan sensasi itu.
“Nih.. aku kasih bonus.. silakan menikmati..” kataku sambil melanjutkan jilatanku.
Sementara tanganku yang kiri membelai payudaranya bergiliran secara adil. Kiri dan kanan. Sementara tangan kananku kuletakkan di bawah pantatnya. Pantat seksi itu kuremas sesekali.
“Oghh.. sshh..”

Nina menggelinjang menahan nafsu yang mulai merasuki dirinya. Sesaat dia lupa kalau sekarang dia dalam keadaan terjajah. “Sshh.. terrusshh..”
Perlahan lahan, cairan yang kunanti keluar juga. Secara mantap, lendir bening itu mengalir membasahi liang kemaluannya yang semerbak.
“Donnhh.. Donhh..” Dia berteriak di sela orgasmenya yang kuhadiahkan secara cuma-cuma.
“Aduh.. Nin.. yang benar aja dong..” ringisku karena saat orgasme tadi, kukunya yang lentik melukai pundakku.
“Maaf.. maaf Donhh..”
Aku berhenti sesaat untuk memberinya waktu istirahat. Aku berdiri di samping ranjang. Dia terkulai lemas. Pahanya dibiarkan terbuka. Kemaluan genit itu sudah mengundang batang kemaluanku untuk beraksi. Namun aku berusaha menahan, agar pemerkosaan ini tidak terlalu menyakitkan. Kami berpandangan sejenak. Dia sudah tidak melakukan perlawanan apa-apa, pasrah.
“Don.. aku tahu kamu sebenarnya baik, jangan sakiti aku yah.. aku mau menemani kamu di sini, asal kamu tidak melukai aku..” pintanya sambil mengubah posisi telentangnya menjadi duduk melipat lututnya ke bawah pantat. Liang kemaluannya agak tersembunyi sekarang.

“Kamu masih perawan nggak?” tanyaku ketus.“Iyah.. masih..”
“Nah.. sayang sekali, kalau mulai besok kamu sudah menyandang gelar tidak perawan lagi..”
“Ah..” dia tercekat.
“Don.. semua uang tadi boleh kamu ambil.. tapi mohon jangan yang kamu sebut barusan.. empat hari lagi aku menikah Don.. kumohon Don..”
“Ah.. daripada cowok lain yang merasakan nikmatnya darah segar kamu, mending aku curi sekarang..” kataku cepat sambil mendekatinya lagi.
“Don.. jangan.. kumohon..”
“Diam!”
“Ingat.. pisau ini sewaktu-waktu bisa mengeluarkan isi perutmu..” ancamku.

Nina terkejut sekali, karena menyangka aku sudah berbaik hati. Padahal aku juga tidak sungguh-sungguh marah padanya. Mungkin karena aku yang sudah terbiasa berteriak-teriak membuatnya ketakutan.
“Sekarang giliranmu”, kukeluarkan batang kemaluanku yang sudah agak terkulai.
“Kupikir aku nggak perlu menjelaskan lagi cara membangunkan preman yang satu ini..” kataku sambil mengarahkan kepalanya berhadapan dengan batang kemalauanku yang lumayan besar. Sejenak dipandanginya diriku. Tanpa berkata apa-apa dia memegang batang kemaluanku dan mengocoknya perlahan. Dikocoknya terus sampai perlahan, si batang andalanku naik.
“Cuma itu?” tanyaku lagi.

Dibuka mulutnya dengan ragu-ragu, kebetulan sekali adegan di TV channel juga sedang memperagakan hal yang sama. Aku sebenarnya ingin tertawa. Tapi kutahan, karena gengsi kalau dia tahu. Dikulumnya batang kemaluanku. Aku berdiri di atas ranjang. Dia berjongkok dan mulai menggerakkan kepalanya maju mundur.
“Ahh..” aku mengerang merasa nikmat sekali.
Kulihat matanya sesekali melirik TV. Biar saja, pikirku dalam hati. Toh ini demi keuntunganku. Dijilatinya kepala kemaluanku. Tapi dia tidak berani menatap wajahku.
“Auhhgghh..”
“Jangan dilepas..” seruku tertahan.
Aku jongkok dengan mengarahkan kepala ke sela pahanya. Aku telentang di bawah. Posisi kami sekarang 69. Sewaktu berputar tadi dia menggigit kemaluanku agar tidak lepas dari mulutnya. Lucu memang. Dengan bibir kemaluan tepat di atas wajah, kujilati dengan mantap. Kali ini gerakan lidahku liar mengitari permukaan kemaluannya. Sesekali kusedot bukit kecil itu sambil memasukkan hidungku yang kebetulan mancung ke lubang senggamanya.

“Oghh.. Ahh..” Kami berseru bersahutan. Kubalikkan tubuhnya. Sekarang dia ada di bawah, namun tetap 69. Kali ini aku lebih leluasa menjilati kemaluannya.
“Augghh.. Donhh.. enakkhh.. terusshh..” pintanya.
Lalu kembali menyantap batang kemaluanku dengan garang. Sesekali aku merasakan gigitan kecil di sekitar kepala kemaluan. Pintar juga dia, pikirku dalam hati.

Lidahku kujulurkan masuk ke lubang sempit itu dan menari di dalamnya. Pantatku kugoyang naik-turun agar sensasi batang kemaluan yang berada di kulumannya bertambah asyik. Sambil menjilat liang kemaluan itu, jari-jariku mempermainkan bibir kemaluannya.
“Ougghh.. Don.. enakkhh.. Donnhh.. ahh.. Donnhh..” serunya dibarengi aliran hangat yang langsung membanjiri lembah merah muda itu.
“Sekarang waktunya Nin.”
Aku mengambil posisi duduk di antara belahan kedua kakinya. Dia masih telentang. Kugesek lagi kepala kemaluanku yang sudah mengeras sempurna beradu dengan klitorisnya yang menegang. Dia setengah duduk dengan menahan tubuhnya pakai siku tangan, dan ikut menyaksikan beradunya batang kemaluanku dengan klitorisnya yang sudah menjadi genit. Batang kemaluanku itu kuarahkan ke liang kemaluannya.

“Jangann.. kumohon Donh.. jangan..” serunya tertatih sambil mencengkeram batang kemaluanku.
“Aku bersedia memuaskan nafsumu, dengan cara apa saja, asal jangan mengorbankan pusakaku.”
“Oh ya? Kalau dari anus mau nggak?” tantangku.
Tapi sebenarnya aku tidak lagi perduli karena kemaluanku sudah minta dihantamkan melesak lubang kemaluannya.
“Yah.. terserah kamu Don..”
“Nggak.. mau.. aku cuma mau yang ini, ini lebih enak..” teriakku sambil menunjuk liang kemaluannya.
“Nih.. pegang.. masukin..” Dengan ragu dipegangnya batang kemaluanku.
“Don.. apa tidak ada cara lain?”
“Cara lain? Ada-ada saja kamu.. Hei.. kamu jangan bertingkah lagi ya.. jangan sampai kesabaranku hilang. Kamu beri satu milyar pun sekarang aku nggak bakalan mau melepaskan punya kamu itu sekarang. Aku sudah nggak tahan.. paham.. paham? paham..?” bentakku dengan nada suara lebih meninggi. Pisau yang tadi kusembunyikan di bawah kasur kuacungkan dan kutekan kuat di dadanya.

“Donn.. sakitt.. jangann..” rintihnya ketika pisau tadi melukai dada putihnya. Aku terkesiap. Namun tak peduli.
“Ayo.. dimasukin..” kali ini pisau kutekan lagi.
Darah segar mengalir perlahan dari luka yang kuperbesar, walau tidak begitu parah.
Dengan berat disertai ketakutan, dipegangnya kemaluanku. Diarahkannya ke liang kemaluannya.
“Sulit.. sakitt.. Don.. ampunn.. Don..”
“Pegang ini”, kataku tidak sadar karena memberikan pisau itu ke tangannya. Dia juga tidak menyadari kalau sedang memegang pisau. Lucu sekali. Aku hanya bisa tersenyum kalau mengingat masa itu.

Aku menunduk dan menjilati kemaluannya. Dia melihatku menjilati barangnya. Sesekali kami bertatapan. Entah apa artinya. Yang pasti aku merasa sudah memiliki mata sipit yang menggemaskan itu. Digerakkannya pinggul besarnya seirama jilatanku. Kuremas juga susunya yang segar merekah.
“Augghh.. Ahh..” jilatanku kupercepat. Cairannya mengalir lagi walau tidak sebanyak yang tadi. Aku kembali duduk menghadap selangkangannya. Tiba-tiba aku sadar kalau sebilah pisau ada di tangannya. Segera kuambil dan kulempar ke lantai. Dia juga baru sadar setelah aku mengambil pisau itu. Namun sepertinya dia memang sudah takluk.

“Nin.. ludahin ke bawah.. yang banyak..” kataku sambil menunjuk kemaluannya. Kami sama-sama meludah. Kuoleskan liur yang menetes itu ke batang kemaluanku, juga ke kemaluannya. Sesekali dia juga ikut mengusap batang kemaluanku dengan air ludah yang dikeluarkannya lagi di telapak tangannya. Aku memandanginya dengan sayang. Dia juga seolah mengerti arti tatapanku itu. Aku segera mengecup bibirnya. Dia membalas. Kami berpagutan sesaat. Kurasakan batang kemaluanku bersentuhan dengan perutnya.

“Ayo dicoba lagi..”
Kali ini dipegangnya kepala kemaluanku. “Ah.. Shh”
Dan.., “Oogghh.. aahh.. Shh..”
Kepala kemaluanku masuk perlahan. Sempit sekali lubang itu. Kusodok lagi perlahan. Dia hanya bisa menggigit bibir dan mencengkeram tanganku. Sesekali nafasnya kelihatan sesak. Namun ada juga desah liar terdengar lirih.
“Donnhh.. aku benci.. kaamu..”
Kusodok terus, sampai akhirnya semua batang kemaluanku terbenam di liang kewanitaannya. Aku tahu itu sakit. Namun mau bilang apa, nafsuku sudah di ujung tanduk.
“Brengsek.. Donhh.. baajingann.. kamu.. shh.. oghh”,

Aku tak peduli lagi umpatannya. Yang kurasakan hanya nikmat persenggamaan yang benar-benar beda. “Shh.. shh.. Donhh.. Donhh..”
Kupeluk dia erat-erat. Goyanganku makin liar. Aku hanya bisa mendengar dia mengumpat. Sesekali kupandangi wajahnya di sela nafasku yang ngos-ngosan. Beragam ekspresi ada di sana. Ada kesakitan, ada dendam, tapi ada juga makna sayang, dan gairah yang hangat. Kulihat titik-titik darah mulai mendesak lubang sempit yang tercipta antara batang kemaluan dan liang kewanitaannya. Seketika tagisnya meledak. “Donhh.. bajingann.. kamuu.. jahatt.. kamu Don.. ahh.. uhh..” dia memukul dadaku keras sekali.

Tangisnya makin menjadi. Aku iba juga. Kutarik kemaluanku dari liang kemaluannya. Darah segar mengalir memenuhi lubang yang memerah padam dan lecet. Kemaluanku kukocok sekuat tenaga ketika spermaku muncrat. “Ahh.. ahh..” Air maniku memancar keras membasahi dada dan sebagian wajahnya. Dia menangis sesenggukan.
“Nikmatnya memek perawan kamu Nin..” kataku tersenyum senang.
Aku langsung menjilati darah segar yang sudah membasahi pahanya. Segera kugendong dia menuju kamar mandi. Di bibir bak, kududukkan dia. Kuambil kertas toilet dan membasuhnya dengan air. Kuusap darah yang ada di sekitar kemaluannya dengan lembut. Darah di dadanya yang sudah mengering juga kulap dengan hati-hati.

“Kamu puas sekarang.. bukan begitu Don?” ejeknya di sela tangisnya.
Aku terdiam. Aku merasa menyesal. Tapi mau bilang apa. Nasi sudah menjadi bubur. Kubersihkan semua darah itu sampai tidak berbekas. Kujilati lagi kemaluannya dengan lembut. Aku tahu, yang ini pasti tidak bisa ditolaknya. Benar, dia mulai bergetar. Dipegangnya tanganku dan diremasnya jariku. Tissue yang kupegang dibuangnya, malah jemariku dituntunnya ke sepasang dada montok miliknya. “Ahh.. shh.. sekalian ajaa.. Don.. hamili.. aku.. biar kamu.. lebih.. puass..” katanya sambil mengangis lagi.

Aku sungguh tak mengerti. Terus terang di sana aku seperti orang bodoh. Tapi dengan santai kujilati terus kemaluannya. Diraihnya batang kemaluanku dan dikocok-kocoknya perlahan. Kemaluanku sudah terkulai. Lama dia mencengkeram kemaluanku sampai akhirnya bangkit. Nafsuku kembali membara. Kugendong lagi dia, dan jatuh bersama di ranjang empuk. Kami berpelukan dan berciuman lama sekali. Kumasukkan lidahku ke dalam mulutnya, dan menjilati rongga mulutnya. Entah berapa kali kami saling bertukaran air liur. Bagiku, air ludahnya nikmat sekali melebihi minuman ringan apapun. Ketika aku berada di bawah, aku juga menelan semua liurnya tatkala dia meludahi mulutku. Terserahlah, apakah dia marah atau bagaimana. Sepanjang dia merasa bebas, aku melayaninya. Hitung-hitung balas budi. Hehehe..

Aku bergerak ke bawah, menjilati tiap inci sel kulitnya. Lehernya bahkan kuberi tanda cupangan banyak sekali, walau aku tahu empat hari lagi dia akan menikah. Peduli setan.
“Ahh.. Don.. hhsshh.. yanghh.. itu.. nikhhmatt”, serunya tertahan ketika putingnya kusedot dan kujilati dengan bernafsu. Tanganku merayap ke bawah dan membelai lubang kemaluannya yang masih basah. Aku terus merangkak turun, menjilati perutnya dan mengelus pahanya dengan nakal. Sesampainya di sela paha kubuka lagi kedua kakinya, terkuaklah liang kemaluan yang kumakan tadi. Kali ini bentuknya sudah berbeda. Lubangnya agak menganga seperti luka lecet, namun tidak berdarah. Segera kujilati lagi untuk kesekian kalinya. “Donn.. enakhh.. nikmathh..”
Jari telunjukku kumasukkan lembut ke lubang itu sambil menjilati kemaluannya sesekali. “Aduhh.. duh.. enaknyaa.. Don.. jangan.. berhenti”, serunya sambil menggelinjang hebat. Pinggul itu bergerak liar mendesak mulutku. Kutindih dia dan kuarahkan batang kemaluanku. “Uhh.. sshh”, serunya sesak ketika batang kemaluanku kuhantamkan ke liang kenikmatan itu. Goyangan demi goyangan membuat erangannya semakin ganas. Tentu saja aku semakin beringas. Siapa tahan.

“Donhh.. bajiingann!” untuk kesekian kalinya dia mengumpatku.
Entah apa maksudnya. Kali ini dia sangat menikmati permainan (setidaknya secara fisik, entahlah kalau perasaannya). Kepalanya terlempar ke sana ke mari dan nafasnya mendesah hebat.
“Nin.. punyaahh.. kamuu.. assiikkh.. ahh”, seruku ketika denyutan liang kemaluannya terasa sekali menekan batang kemaluanku. Kubalik dia, sehingga sekarang posisinya di atas.
“Don.. aku.. akan.. bunuh.. kamuu.. suatu.. saat..”
“Silakan.. saajahh..”
Kami berdua berbicara tak karuan.
“Oughh.. aihh.. sshh”, teriaknya menggelinjang sambil mencabuti bulu-bulu dadaku. Aku merasa kesakitan. Tapi biarlah. Dia sepertinya sangat menyukai.
“Donh.. kamu.. kamu..” dia tidak melanjutkan kata-katanya.

Tiba-tiba.., “Donhh.. Donhh.. bajingan.. ah..” serunya keras sekali, sambil menggoyang pantatnya dengan cepat dan menari-nari seperti kilat. Bunyi becek di bawah sana menandakan dia kembali orgasme. Tapi goyangannya tidak surut. Kucabut batang kemaluanku dan menyuruhnya membelakangiku sambil berpegangan pada sisi ranjang. Kuarahkan batang kemaluanku dari belakang dan, “Oughh.. oughh.. oughh.. oughh..” tiap sodokanku ditanggapinya dengan seruan liar. Kugenjot terus sambil meremasi kedua susunya yang ikut bergoyang. Lama kami pada posisi itu, tiba-tiba aku didorongnya dan dia berdiri di hadapanku. Aku ditamparnya keras dan memelukku erat. Ditariknya aku ke ranjang dan memegang kemaluanku. Ditindihnya aku, dia sendiri yang menghunjamkan kemaluanku ke liang kewanitaannya.

“Rasakan nihh.. bajingan.. shh”, teriaknya sambil menari-nari di atasku. Aku tahu dia akan orgasme lagi.
“Aduh..Nin..” pekikku tertahan ketika sekarang dia malah menggigit punggungku.
“Don.. Don..” dia berseru kencang dan memeluk erat kepalaku di dadanya. Kupeluk juga dia dan mengangkatnya. Kami berdiri di lantai. Dengan posisi ini aku bisa menyodoknya dengan sangat keras. Kurapatkan ke dinding, dan kupompa sekuat tenaga.
“Nin.. ahshh..”
“Donhh..”
Aku mengeluarkan sperma di dalam kemaluannya. Dia memelukku erat sekali. Kami berdua ngos-ngosan. Kuangkat dia ke ranjang. Kami terkulai lemas. Kutarik kemaluanku yang melemah dengan pelan. Kutarik sprei itu karena sudah berisi noda darah dan bercak cairan yang beragam. Kami tergeletak berdampingan, tanpa pakaian.

“Don.. kamu berhutang padaku, suatu saat aku pasti menagihnya.”
“Hutang apa?” tanyaku.
Dia tidak menjawab. Dengan perlahan dia memejamkan mata dan tertidur. Kupandangi wajahnya yang cantik. Tampak lelah. Hmm.. beruntung sekali calon suaminya. Kuelus rambutnya yang lurus indah dengan lembut. Kuciumi keningnya dan kupeluk dia. Aku membenamkan wajahku di dadanya dan terlelap bersama.
Besoknya kami bangun bersamaan, masih berpelukan. Aku sadar, dia tidak punya pakaian lagi. Segera aku keluar dan pergi ke toko terdekat. Kubeli T-shirt dan celana pendek. Ketika kembali ke kamar, dia membisu dan tak mau menjawab pertanyaanku. Didiamkan begitu aku tak ambil pusing. Kupakaikan T-shirt dan celana pendek ke tubuhnya. Dia masih tetap membisu.
“Ayo pulang..” ajakku. Dia melangkah lunglai. Kugandeng dia ke mobil, kududukkan di jok depan. Setelah isi kamar sudah kurapikan, aku langsung menyetir mobil. Sepanjang jalan dia hanya diam membisu.

“Nin.. aku tahu apa yang kamu rasakan. Tapi, satu hal yang aku minta darimu.. jangan membenciku untuk apa yang kuperbuat. Bencilah kepadaku karena aku bukanlah calon suamimu”, kataku agak kesal dengan sedikit berdiplomasi. Dia memandangku dengan gundah. Namun tetap membisu. Sampai di daerah rumahnya pun dia tetap diam.
“Oke.. Nin.. aku tak tahu apa yang kamu inginkan. Jika ada yang ingin kamu utarakan, lakukanlah sekarang sebelum aku pergi.”
Dia hanya diam membisu. Dipandanginya aku agak lama. Karena tidak ada jawaban, kudekati dia dan kucium tangannya. Dia tidak bereaksi.
“Bye.. Nin..” Aku segera beranjak pergi.

Empat hari kemudian aku memang secara diam-diam mendatangi daerah rumahnya. Benar, dari informasi yang kudapat dia memang sedang melangsungkan resepsi pernikahan di sebuah Resto mewah di pusat kota. Tapi aku tidak pergi melihatnya. Siapa tahu itu hanya akan jadi luka baru baginya. Pertemuanku terakhir dengannya terjadi di salah satu kafe di Surabaya. Saat group-ku manggung, aku melihatnya duduk di depan bersama seseorang (mungkin suaminya).

“Lagu ini kupersembahkan buat seorang wanita paling indah yang pernah mewarnai perjalanan hidupku”, aku pun segera menyanyikan tembang Mi Corazon dengan penghayatan yang dalam. Dia menikmatinya dengan tatapan syahdu ke arahku. Tentu saja tak seorang pun pernah tahu, bahwa sesuatu pernah terjadi di antara kami.

Sekarang setahun sudah lewat. Dia pernah juga meneleponku dan bilang kalau dia sedang hamil tujuh bulan. Ketika kutanya dimana dia saat itu, telepon segera ditutupnya. Well, ternyata aku pun sedang mengalami pemerkosaan darinya. Semoga ini bisa jadi pelajaran berharga buat sobat semua. Ups.. ternyata sekarang ada janji dengan Tante Stella.
Share:

Kamis, 25 Juli 2019

Cerita Mesum : Cewek Igo Yang Maniak Seks

Sekarang nih saya telah bekerja menjadi staff disalah satu perusahaan di Jakarta. Sejujurnya, saya lebih suka dan napsu andai melihat orang yuang telah menikah di bandingkan anak gadis. Baik bini orang, janda atau tante-tante. Mungkin sebab saya sering bareng dengan teman kerja, maka saya tak tertarik sama orang yang lebih muda dari saya.

Cerita Mesum : Cewek Igo Yang Maniak Seks

Setiap menyaksikan bini orang, saya jadi bernafsu dan penisku bakal mulai menegang. Pada saat tersebut saya berkenalan dengan Sella, tukang masak di di antara restoran di sekitar kantor saya. Memang sudah kelaziman saya ketika order makan, saya selalu menantikan di dapur dan menyaksikan bagaimana Sella memasak. Dimulai dengan melihat, menolong dan kesudahannya timbul kemauan untuk mengobrol dan berkelakar dengan Sella.

Sella pun tidak pernah marah andai saya sering berkelakar dengannya di dapur, bila marah juga di melulu menunjuk ke arah bos nya takut andai ketahuan bosnya. Saat sejumlah minggu saya berkelakar dengan Sella, saya hendak tes Sella dengan menyebut payudaranya yang menonjol itu.

Mungkin saya telah tidak tahan menyaksikan payudaranya yang menonjol tersebut makanya saya memberanikan diri meyinggungnya. Sella melulu melirik saja seraya tersenyum. Senyumnya seolah-olah memberi kode ke saya bahwa dia tertarik untuk saya. Saya juga semakin memberanikan diri guna mendekatinya.

Selepas kejadian itu, kami juga semakin dekat dan bilamana saya ke dapur saya tidak jarang kali memluknya dan meremas payudaranya. Tapi tak lama lah, fobia ketahuan sama bos nya dan tidak jarang kali saya kerjakan pada senja hari masa-masa restoran telah mau tutup.

Untuk informasi saja, Sella baru berumur 30 tahun dan memiliki 2 orang anak. Body nya paling montok dengan payudara ya besar dan putih. Dia bekerja di restoran karena hendak membantu meringankan tidak banyak beban suaminya saja.

Pada suatu ketika saya menyaksikan muka Sella agak masam dan gelisah aja. Selepas kerja, saya menyuruh Sella terbit makan dan mendengar kisah permasalahan dengan suaminya. Sella juga mengiyakan anjuran makan saya dan kami juga janjian santap di suatu cafe.

Saat berjumpa dengannya saya pun mengupayakan mengorek rahasianya. Tapi keadaan di cafe agak ribut, Sella juga tidak konsen untuk mengisahkan permasalahan dengan suaminya. Setelah berlalu makan, saya menyuruh Sella guna ke lokasi tinggal ku guna meneruskan kisah nya. Sella setuju, dan saya juga mengantarnya ke rumahku.

Sesampainya di rumahku, dia juga duduk di sofa dengan baju yang agak tidak banyak terbuka. Dia juga mulai mengisahkan masalahnya dan saya juga sesekali menyokong Sella dengan dengan keputusan yang dipungut Sella. Namun sebetulnya saya tidak konsentrasi pada ceritanya, di benak ku melulu bagaimana saya dapat merasakan tubuh Sella.

Saat ceritanya telah mau habis, tiba-tiba saja Nelaa menangis. Saya pun lantas memeluknya dan meredakan tangisannya. Sella pun menjawab pelukan saya dengan lebih erat lagi. Dalam pelukannya, saya menikmati betapa kenyalnya payudara Sella dan penis ku juga mulai menegang keras.

Tanpa buang waktu, saya juga mulai menjilatin leher mengarah ke ke telinganya. Desahan Sella pun tersiar pelan “ahhh….ahhhhh…”. Kemudian saya mulai memasukkan jari ku ke dalam bajunya yang tidak banyak terbuka tersebut sambil ku pelintir putingnya.

Saya juga membuka bajunya dan lantas membuka bra nya. Payudaranya yang besar dan kenyal tersebut pun menciptakan kontolku semakin menegang kuat. Ku remas-remas payudaranya tersebut dan ku pelintir-pelintir putingnya itu. Sella juga semakin terangsang dan menciumku dengan liarnya.

Sella juga mengerang keasyikan “ahhhhh… auhhhhhhh,,, ahhhhhhh… enak mass, lagiii masss” ucapnya. Kemudian saya juga menjilati kedua putingnya seraya jari ku menyusup kedalam celana nya membelai vagina nya yang telah mulai becek itu. Karena agak ketat celananya, Sella lantas membuka celananya sendiri dan lantas membukakan celana ku juga.

Kontolku lantas di kocoknya dengan lembut dan lantas merebahkan badanku ke sofa. Sambil jongkok di bawah sofa, lantas dia mulai mengulum penisku dengan lihainya. Emang benar kata orang, yang tua lebih pengalaman. Kulumannya nikmat sekali gan, buat merem melek, hehe.

Dengan buas dia mengulum dan menjilat penisku sampai aku tak berdaya. Tak hingga 10 menit, aku menikmati akan orgasme dan ku tembakkan spermaku ke dalam mulutnya. Crotttt…crottttt…

Sella juga menelannya dan menjilatnya sampai tak bersisa. Kemudian giliran saya yang merebahkan nya ke sofa dan ku jilatin vaginanya yang telah becek dampak ulah ku tadi. Ku masukin jariku dan mengobok-obok vaginannya dengan cepat. Sella mulai mendesah pulang “yahhh masss…lagii masss….enakk massss…agak dalam masss…ahhhh…ahhhhh”

Saat penisku menegang kembali, ku gesek-gesekkan ke vagina nya. Dia meraih penisku dan menunjukkan ke dalam vaginanya. Tanpa pikir panjang, aku langsung menusukkan penis ku kedalam liang vaginanya dan ku goyang dengan cepat. Walau terasa telah agak kendor sebab sudah mempunyai 2 anak, tetapi Sella paling jago dalam hal goyang.

“aghhhhhh…..achhhhhhh….achhhhhh…..enak mas….achhhhhh…enak mass…achh….” desah Sella keenakan.

Memang tak salah yang tidak jarang saya baca di cerita-cerita dewasa bila yang tua lebih pengalaman. Skill nya memang luar biasa, dapat encok saya di buatnya. hehe.

Kemudian kami berganti posisi menjadi Doggie style. Dengan posisi tersebut membuat penis saya semakin leluasa menyepong nya. Keringat pun mengalir turun karena liarnya goyanganku sampai tak lama Sella juga mengejang dan menyemburkan cairan di vaginanya.

Namun saya terus menyepongnya tanpa henti dan sampai akhirnya ketika aku menjangkau orgasme, aku menariknya penis saya terbit dan Sella juga dengan cepat mengulumnya dan sekali lagi ku semprotkan sperma ku ke dalam mulutnya. Setelah tersebut kami pun lantas istirahat sebab kelelahan.

“Terima kasih ya mas, sebab sudah mau memperhatikan curhatan dan memuaskan Sella” ucapnya.
“Kok malah anda yang berterima kasih ke mas? mestinya saya dong Sell…”jawabku.

Sella melulu tersenyum dan lantas saya mengecup keningnya. Setelah tersebut kami mandi bareng dan ku antar dia pulang ke rumahnya.
Share:

Rabu, 24 Juli 2019

Cerita Mesum : Kuambil Selimut Sambil Melihat Tante Yang Masih Berposisi Telanjang

Jam lima pagi, aku terjaga lagi, Kali ini terasa agak dingin dihembus kipas angin dari atas. Kuambil selimut sambil melihat Tante yang masih berposisi telanjang bongkok udang. Hal ini menarikku untuk memeluknya dari belakang.

Cerita Mesum : Kuambil Selimut Sambil Melihat Tante Yang Masih Berposisi Telanjang

Kutebarkan selimut lebar itu hingga menutupi tubuh kami berdua. Tangan kiri kusisipkan di bawah badannya dan tangan kananku kupelukkan melingkupi dadanya. Pinggulku kulekatkan ke arah pantatnya, sehingga otomatis zakarku menempel di situ pula, di sela-sela paha belakangnya.

Dasar darah mudaku masih panas, sejenak kemudian burung kecilku sudah jadi ‘garuda’ perkasa yang siap tempur lagi. Kugerak-gerakkan menusuki sela-sela paha belakang Tante. Tanganku pun tidak tinggal diam dan mulai memelintir puting Tante kiri-kanan seraya meremas-remas gumpalan kenyal itu. Kontan mendapat perlakuan seperti itu Tanteku terbangun dan bereaksi.

“Sudah, Ron..! Jangan lagi..!” tubuh Tante beringsut menjauhiku, namun aku tetap memeluknya erat.

Bahkan dengkulku sekarang berupaya membuka pahanya dari belakang. Tante beringsut menjauh lagi dan kedua tangannya berusaha melepas pelukanku.

“Jangan, Ron..! Aku ini Tantemu.” rintihnya sambil tetap membelakangiku.

“Tapi, tadi kita sudah melakukannya, Tante?” tanyaku tidak mengerti. Pelukanku tetap.

“Ya. Ta.. tadi Tante.. khilaf..”

“Khilaf..? Tapi kita sudah melakukannya sampai dua kali Tante?” aku tidak habis mengerti.

Kulekatkan lagi zakarku ke pantatnya. Tante menghindar.

“Ii.. ya, Ron. Tante tadi benar-benar tak mampu.. menahan nafsu.. Tante sudah lama tidak melakukan ini sejak Oom-mu meninggal. Dan sekarang kamu merangsang Tante sampai Tante terlena.”

“Masak terlena sampai dua kali?”

“Yang pertama memang. Tante baru terbangun setelah.., Roni mem.. memasuki Tante. Tante mau melawan tapi tenagamu kuat sekali sampai akhirnya Tante diam dan malah jadi terlena.”

“Kalau yang kedua, Tante..?” tanyaku ingin tahu sambil mendekap lebih erat. Tante menghindar dan menepisku lagi.

“Kamu mencium bibir Tante. Di situ lah kelemahan Tante, Ron. Tante selalu terangsang kalau berciuman..”

“Oh, kalau begitu Tante kucium saja sekarang ya..? Biar Tante bernafsu lagi.” pintaku bernafsu sambil berupaya memalingkan wajah Tante. Tapi Tante menolak keras.

“Jangan, Ron..! Sudah cukup. Kita jangan berzinah lagi. Tante merasa berdosa pada Oom-mu. Hik.. hik.. hik..” Tante terisak.

Aku jadi mengendurkan serangan, meski tetap memeluknya dari belakang.

Kemudian kami terdiam. Dalam dekapanku terasa Tante sedang menangis. Tubuhnya berguncang kecil.

“Ya sudah, Tante. Sekarang kita tidur saja. Tapi bolehkan Roni memeluk Tante seperti ini..?”

Tidak kuduga Tante justru berbalik menghadapku sambil membetulkan selimut kami dan berkata, “Tapi kamu harus janji tak akan menyetubuhi Tante lagi kan, Ron?”

“Iya, Tante. Aku janji.., anggap saja Tante sekarang sedang memeluk anak Tante sendiri.”

Sekilas kulihat bibir Tante tersenyum. Di bawah selimut, aku kembali memeluknya dan kurasakan tangan Tante juga memelukku. Buah dada besarnya menekan dadaku, tapi aku mencoba mematikan nafsuku. Zakarku, meski menyentuh pahanya, juga kutahan supaya tidak tegang lagi. Wajah kami berhadap-hadapan sampai napas Tante terasa menerpa hidungku. Matanya terpejam, aku pun mencoba tidur.

Mungkin saking lelahnya, dengan cepat Tante terlelap lagi. Namun lain halnya dengan aku. Terus terang, meski sudah berjanji, mana bisa aku mengekang terus nafsu birahiku, terutama si ‘garuda’ kecilku yang sudah mulai mengepakkan sayapnya lagi. Dengan tempelan buah dada sebesar itu di dada dan pelukan hangat tubuh polos menggairahkan begini, mana bisa aku tidur tenang? Mana bisa aku menahan syahwat? Jujur saja, aku sudah benar-benar ingin segera menelentangkan Tante, menusuk dan memompanya lagi!

Tapi aku sudah janji tidak akan menyetubuhinya lagi. Mestikah janji ini kuingkari? Apa akal? Bisakah tidak mengingkari janji tapi tetap dapat menyebadani Tante? Benakku segera berputar, dan segera ingat kata-kata Tante tadi bahwa dia paling mudah terangsang kalau dicium. Mengapa aku tidak menciumnya saja? Bukankah mencium tidak sama dengan menyetubuhi?

Ya, pelan tapi pasti kusisipkan kaki kiri di bawah kaki kanan Tante, sedang kaki kananku kumasukkan di antara kakinya sehingga keempat kaki kami saling bertumpang tindih. Aku tidak perduli zakarku yang sudah jadi tonggak keras melekat di pahanya. Kurapatkan pelukan dan dekapanku ke tubuh Tante, wajahku kudekatkan ke wajahnya dan perlahan bibirku kutautkan dengan bibirnya.

Lidahku kembali berupaya memasuki rongga mulutnya yang agak menganga. Aku terus bertahan dengan posisi erotis ini sambil agak menekan bagian belakang kepala Tante supaya pertautan bibir kami tidak lepas. Dan usahaku ternyata tidak sia-sia. Setelah sekitar 30 menit kemudian, tubuhku mulai pegal-pegal, kurasakan gerakan lidah Tante. Serta merta gerakannya kubalas dengan jilatan lidah juga.

“Emm.. emm.. mm..” desis Tante sambil membelit lidahku.

Kepalanya kutekan makin kuat dan aku berusaha menyedot lidahnya hingga masuk ke mulutku. Kukulum lidahnya dan kupermainkan dengan lidahku. Kusedot, kusedot dan kusedot terus sampai Tante agak kesakitan, lalu kubelit-belit lagi dengan lidahku. Ya, silat lidah ini berlangsung cukup lama dan ketika tanpa sengaja pahaku menyenggol vagina tante, terasa agak basah. Pasti Tante terangsang, pikirku. Tapi aku tidak mau memulai, takut melanggar janji. Biar Tante saja yang aktif.

Maka aku pun berusaha menambah daya rangsang pada diri Tante. Pelan tangan kirinya kubimbing untuk menggenggam zakarku. Meski mula-mula enggan, tapi lama kelamaan digenggamnya juga ‘garuda perkasa’-ku. Bahkan dipijit-pijit sehingga aku pun menggelinjang keenakan.

“Shh.. shh..!” desisku sambil mengulum lidahnya.

Tangan kananku, setelah membimbing tangan kiri Tante menggenggam zakarku lalu meneruskan perjalanannya ke celah paha Tante yang sudah basah. Kusibakkan rambut-rambut tebal itu, mencari celah-celah lalu menyisipkan jari telunjuk dan tengahku di situ. Kugerakkan ke keluar-masuk dan Tante mendesis-desis, genggamannya di zakarku terasa mengeras. Aku tidak tahan lagi.

“Masukin ya, Tante?” bisikku, lupa pada janjiku.

“Ja.. jangan, Ron..!”

“Ak.. aku nggak tahan lagi, Tante..!” pintaku.

“Di.. dijepit paha saja ya, Ron..?”

Tanpa kusuruh, Tante lalu telentang dan mengangkangkan pahanya. Pelan aku menaikinya. Tante membimbing zakarku di antara pahanya sekitar sejengkal di bawah vagina, lalu menjepitnya. Ia menggerak-gerakkan pahanya sehingga zakarku terpelintir-pelintir nikmat sekali.

Payudara besar Tante menekan dadaku juga. Tangan kiriku mengutil-ngutil puting kanannya. Ciuman ke bibirnya kulanjutkan lagi, jemari tangan kananku juga terus berupaya memasuki vagina Tante dan mengocoknya.

“Heshh.. heshh.. Ron.. mm..,” Tante sulit bicara karena mulutnya masih kukulum.

“Tanganmu.. Ron..!” tangan kanan Tante berusaha menghentikan kegiatan tangan kiriku di putingnya, sedang tangan kanannya berusaha menghentikan kegiatan jemari kananku di vaginanya.

Dipegangnya jemariku. Aku hentikan gerakan, tapi tiga jari tetap terendam di vagina basah itu dan kukutil-kutil kecil. Sampai Tante tidak tahan dan mengangkangkan sedikit pahanya hingga jepitan pada zakarku terlepas. Cepat kutarik jemariku dari situ dan kunaikkan sedikit tubuhku sehingga sekarang ganti zakarku berada di pintu gerbang nikmat itu. Kepalanya malah sudah menyeruak masuk.

“Hshh.. Ron, jangan dimasukkan..!” Tante buru-buru memegang zakarku, digenggamnya.

“Tapi aku sudah nggak tahan Tante..” desisku.

“Cukup kepalanya saja, Ron.. dan jangan dikocok..!” Tante memperketat genggamannya, sementara aku semakin memperderas tekanan ke vaginanya.

“Ii.. ingat janjimu, Ron..!”

“Ta.. tapi Tante juga ingin kan?” tanyaku polos.

“Ii.. iya sih, Ron. Tante juga sudah nggak tahan. Tapi ini zinah namanya.”

“Apa kalau tidak dimasukkan bukan zinah, Tante?” tanyaku bloon.

“Bu.. bukan, Ron. Asal burungmu tidak masuk ke vagina Tante, bukan zinah..” aku jadi bingung.

Terus terang tidak mengerti definisi zinah menurut Tante ini.

“Kalau begitu, apa Tante punya jalan keluar? Kita sudah sama-sama terangsang berat. Tapi kita nggak mau berzinah.”

“Egh.. gini aja Ron. Tante akan.. ugh.. mengulum punyamu. Turunlah sebentar..!”

Dan aku pun menurut, turun dari atas Tante dan telentang. Tante bangkit lalu memutar badannya dan mengangkangiku. Mulutnya ada di atas zakarku dan vaginanya di atas wajahku. Kurasakan ia mulai menggenggam dan mengulum ‘garuda perkasa’-ku. Dikulum dan digerakkan naik turun di mulutnya.

Shiit.. hsshh.. nikmat sekali. Jemariku segera menangkap pinggulnya yang bergerak maju mundur dan segera kuselipkan empat jari kanan ke vaginanya. Kugerakkan cepat, malah agak kasar, keluar masuk sampai basah semua.

“Ugh.. uughh.. uagh.. Ron..! Ron, Tante mau keluar, mm.. mm..” Tante terus mengulum sambil meracau.

Sekejap kemudian tubuhnya berhenti bergerak, lalu pinggul yang kupegangi terasa berkejat-kejat. Kemudian cairan hangat membanjiri tanganku dan sebagian menetesi dadaku. Kurasakan cairan itu seperti air maniku hanya lebih encer dan bening.

Tante kemudian terkapar kelelahan di atasku dengan posisi mulutnya tetap mengulum zakarku sambil mengocoknya. Tidak berapa lama, aku pun merasa mau keluar.

“Egh.. egh.. Tante. Aku mau keluar..!” Tante malah mempercepat kocokannya dan memperdalam kulumannya.

Aku berkejat dan muncrat memasuki mulut Tante dan ditelannya, semuanya habis ditampung mulut Tante. Akhirnya aku pun lemas dan ikut menggelepar kelelahan.

Tangan-kakiku terkapar lemas ke kiri-kanan. Tante juga terkapar kelelahan namun mulutnya masih terus menjilati zakarku sampai bersih, barulah kemudian dia berbalik dan memelukku. Wajah kami berhadapan, mata Tante merem-melek.

“Kalau yang barusan ini bukan zinah tante?” tanyaku lagi.

“Bukan, Ron.. karena kamu tidak memasukkan burungmu ke vagina Tante.” jawabnya sambil mata memejam.

Aku tidak tahu apakah jawabnya itu benar atau salah. Namun, setelah kupikir-pikir, aku lalu bertanya lagi, “Jadi kalau begitu, boleh dong kita melakukan lagi seperti yang barusan ini, Tante?”

“He-eh..” jawabnya sambil terkantuk-kantuk kemudian dengkur kecilnya mulai terdengar lagi.

Jam enam pagi waktu itu. Aku pun segera menebarkan selimut lagi di atas tubuh polos kami dan memeluknya dengan ketat. Rasanya aku tidak mau melepaskan tubuh Tante walau sekejap pun. Persetan dengan pekerjaan, persetan dengan kuliah. Sengaja aku juga tidak mengingatkan Tante akan pekerjaan kami. Aku malah berharap menginap lagi semalam, biar ada kesempatan bersebadan dengan Tante lebih lama lagi. Sepanjang hari ini aku mau bercumbu terus dengan Tante, sampai spermaku keluar sepuluh kali lagi! Begitu angan-angan jorokku.

Ya, akhirnya memang kami hari itu tidak keluar kamar dan memperpanjang menginap sehari lagi. Selama di dalam kamar, di atas ranjang, kami tidak pernah mengenakan pakaian barang selembar pun. Hampir setiap tiga jam sekali aku dan Tante sama-sama mengalami orgasme, meskipun hanya pakai bantuan tangan atau mulut dan lidah.

Jam delapan pagi, sebelas, dua siang, lima sore, delapan malam, sebelas malam, dua pagi, lima pagi dan delapan paginya lagi kami selalu terkejat-kejat dan orgasme hampir bersamaan. Selama itu memang Tante masih selalu ingat untuk menolakku yang ingin memasukkan penisku ke vaginanya, dan aku pun menurutinya.

Namun, akhirnya Tante terlena dan aku pun bebas memasukkan penisku ke vaginanya. Tentunya setelah kami pulang dari perjalanan bisnis berkesan itu, dan kembali pulang ke rumah. Kesempatan itu terbuka lebar karena memang aku suka tinggal di rumahnya.
Share:
XoDomino Agen Judi Poker Domino99 dan Ceme Online Indonesia
IniMaster Agen BandarQ Online | Situs Capsa Susun | Domino QQ Poker Terpercaya

DOWNLOAD BOKEP ONLINE

Agen Judi Poker Online Indonesia   Agen Judi Online Terpercaya   Dapat Uang Dengan Sangat Cepat
Copyright © Mawar Hitam - Cerita Mesum Video Bokep 2019 | Mawar Hitam Design by Jesika Yaya | Blogger Theme by INIPOKER